Cara belajar 2

Syarat-syarat sholat 
Syarat sholat berarti sesuatu yang menentukan sahnya salat, meskipun  sesuatu itu bukan merupakan bukan merupakan pekerja salat, (seperti bersuci dari hadas, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain). Penjelasa mengenai syarat didahulukan dari pada rukun, sebab syarat merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi sebelum mengerjakan salat. Oleh karena itu, lebih tepat didahulukan (dari pada rukun-rukunnya) dan wajib dipenuhi selama sholat.
Menurut kaidah ushul fiqih:
Syarat ialah suatu yang wajib dan tetap.
Syarat-syarat salat (garis besarnya) ada lima:.
Suci dari hadats besar (junub) dan hadas kecil
Arti thaharah menurut Bahasa ialah “bersih dan bebas dari kotoran” sedangkan menurut istilah syara’ ialah, “menghilangkan setiap noda berubah hadas atau najis”
Suci badan
Syarat sholat yang kedua ialah suci badan. Termasuk badan yaitu mulut bagian dalam, hidung, kedua mata, pakaian yang bersih dan lainya, sesuatu yang dibawa ketika salat, walaipun benda yang tidak turut bergarak karena Gerakan orang itu.
Tempat salat bersih dari najis yang tidak dimaafkan. (jika banyak tahi burung pada ikar atau tanah, dapat dimaafkan, dengan syarat: 1. Jangan menekan atau menginjak najis 2. Tidak basah 3. Sukar menjaganya.  4. Dan besihkanlah pakaianmu.



Menutup aurat
Syarat sholat yang ketiga ialah menutup aurat. Seorang laki-laki walaupun anak-anak dan wanita budak, baik mukatab ataupun ummulwalad, wajib (menutup) bagian anggota badannya antara pusat lutut, walaupun ditempat yang sunyi dan gelap ( salat ditempat yang gelap dan sendirian). Hal ini berdasarkan hadis sahih yang menyatakan,” allah tidak menerima salat seseorang yang haid (telah balig) kecuali dengan menutup kepalanya.”
Tetap wajib menutup sebagian lutut adan pusat supaya auratnya jelas tertutup.
Sedangkan auat bagi perempuan merdeka, walaupun anak-anak, yaitu wajib menutup (seluruh badan) selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu punggung telapak tangan dan telapak kedua tangan sampai pergelangan dengan penutup yang dapat menutupi seluruh warna kulit dari pendangan umum (tidak terlihat kulitnya ketika berhadapan berhadapan). Demikian penetapan syekh ahmad bin musa in ‘ujail.
Mengetahui waktu sholat
Syarat salat yang keempat ialah mengetahui waktu sholat. Mengetahui masuknya wakyu sholat dengan suatu keyakinan atau dugaan yang kuat. Barang siapa salat tidak mengetahui waktunya (dikira-kira), maka salatnya tidak sah, walaupun tiba pada waktunya, sebab yang dianggap sah dalam ibadah ialah menurut dugaan yang kuat dari orang mukallaf (dewasa) dan sesuai dengan bukti; sedangkan dalam masalah akad (jual beli dan sebagainya), cukup dengan kenyataan saja.




Menghadap kiblat
Syarat salat yang kelima menghadap kiblat, yakni, dengan menghadapkan dada ke ka’bah, (bagi yang dekat ke ka’bah, cukup dengan perkiran saja). Tidak cukup menghadap arahnya. Berbeda dengan pendapat imam abu hanifah Rahimullah ta’ala semoga allah ta’alah merahmatinnya.
Syarat-syarat shalat

Syarat-syarat shalat sebelum melakukannya ada lima perkara.
Lafadz asy-srart adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz syart. Dan syarat secara Bahasa bermakna tanda.
Syarat secara syara’ adalah segala sesuatu yang menentukan sahnya shalat, dan bukan badian dari shalat.
Dengan Batasan syarat bukan bagian dari shalat mengecualikan rukun. karena sesungguhnya rukun bagian dari shalat.

Pertama, suci anggota badan dari hadats kecil dan hadats besar ketika mampu melakukan. Sementara orang yang tidak menemukan dua alat bersuci, yaitu air dan debu, maka shalatnya sah, hanya saja ia wajib mengulanginya.

Kedua, suci dari najis yang tidak dimaafkan pada pakaian, badan dan tempat. Mushannif akan menjelaskan syarat yang terakhir ini(suci tempat)

Ketiga, shalat dilakukan pada tempat yang suci. Maka tidak sah shalatnya orang yang sebagian badan atau pakaiannya bertemu najis saat berdiri duduk, ruku’, ataupun sujud.

Keempat, mengetahui masuknya waktu atau menduga masuk waktu berdasarkan dengan ijtihad sehingga seandainya ada seseorang yang melakukan shalat tidak sah, meskipun tepat waktunya.
Kelima, menghadap kiblat, maksudnya ka’bah. Ka’bah disebut dengan kiblat karena sesungguhnya seseorang yang melakukan shalat menghadap padanya. Dan dissebut ka’bah, Karena ketinggianya.
Menghadap kiblat dengan dada merupakan syarat bagi orang yang mampu melaksanakanya. Mushannif mengecualikan dari syarat tersebut dengan ungkapan beliau dibawah ini. Diperbolehkan tidak menghadap kiblat saat melaksanakan shalat didalam dua keadaan.
Yaitu: 1). Dalam kondisi terdesak ketika melakukan perang yang diperbolehkan, baik shalat fardhu ataupun sunnah. 2). Ketika melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan saat berpergian.
Sehingga bagi musafir yang malakukan perjalanan meskipun dengan jarak tempuh menghadap kearah tujuannya.

Syarat-syarat sah shalat
Syarat-syaratnya ada Sembilan:
Islam, maka ia tidak sah dari orang kafir, karena amal orang kafir batal.
Akal, makai a tidak sah dari orang gila, karena tidak ada pembebanan (taklif) kepadanya.
Baligh, ia tidak wajib atas anak-anak sampai dia baligh, akan tetapi tetap diperintahkan saat berumur tujuh tahun dan dipukul karena meninggalkannya saat berumur sepuluh tahun, berdasarkan hadits,
مُرُوْاأَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِلِسَبْعٍ...
“ perintah lah anak-anak kalian agar shalat saat mereka berumur tujuh tahun…”
Thaharah dari dua hadats, besar dan kecil, bila mampu, berdasarkan sabda Nabi SAW dalam hadits ibnu umar RA yang artinya: “ Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci”
Masuk waktu untuk shalat yang telah ditetapkan, berdasarkan Firman Allah SWT:
{إنَّ اْلصَّلَوةَكَانَتْ عَلَ أْلْمُؤمِنِينَ كِتَبًامَّوْكُوتًاََ
“ sesumgguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” [An-Nisa’:103]
Sehingga tidak sah juga sesudahnya kecuali karena udzur.
Menutup aurat bila mampu denga sesuatu yang tidak menammpakkan warna kulit, berdasarkan firman Allah [Al-A’raf: 31] yang artinya: “ wahai anak adam, pakailah pakaian kalian yang indah setiap (memasuki) masjid.”
Menjauhi najis pada badan, pakaian, dan tempat shalat bila mampu, berdasarkan firman Allah SWT:
وَثِيِاَبَكَل فَطَهِّرَْ
“Dan pakaianmu, bersihkanlah.”  [Al-Muddatstsir:4]
Menghadap kiblat bila mampu, berdasarkan firman Allah SWT
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اَلْمَسْجِدِاْلحَرَامَْ
“Maka hadapkanlah wajahmu kea rah masjidil haram.”[Al-Baqarah: 144]
Niat, dan ia tidak gugur dalam keadaan apa pun, berdasarkan hadits umar RA
إِنَّمَاالأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat-niatnya”
Tempat niat adalah hati. Hakikat niat adalah tekad hati untuk melakukan sesuatu, tidak disyariatkan untuk mengucapkan.

Syarat-syarat sah sholat bagi wanita
Syarat sah shalat adalah syarat-syarat yang wajib dipenuhi sebelum engkau (wanita) melaksanakan sholat. Jika salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka pada dasarnya shalat tidak sah.
 Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
Mengetahui masuknya waktu shalat
Tidak sah shalatmu sebelum masuknya sebelum masuk waktunya, tidak sah pula setelah lewat waktunya, kecuali karena ada uzur syar’i.
Allah Ta’ala berfirman QS. An-Nisa’ (103)
اِنَّ اْلصَّلوةَكَا نَتْ عَلَى اْلمُؤمِنِينِ كِتَبًامَّوْقُوتًاََ
“ sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Para fuqoha (ahli fiqih) sepakat bahwa untuk mengetahui maksutnya waktu shalat itu cukup dengan prediksi yang kuat, dengan demikian shalat boleh dikerjakan.
Suci dari hadats kecil dan besar sesuai dengan kemampuan
     Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa:
لاَيَقْبَلُ اللّه صَلَاةًبِغَيْرِطَهُوْرٍ
“Allah tidak akan menerima shalat (seseorang )tanpa bersuci.”
     Juga berdasarkan hadist dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَاَحَدِكُمْ إِذَاَحْدَثَ حَتَّي يَتَوَضَّأَ

 “Allah tidak akan menerima shalat seseorang dari kalian jika ia berhadats hingga ia bersuci”

Suci pakaian, badan dan tempat shalat
Suci pakaian merupakan syarat sahnya shalat, berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Al-Mudatstsir (4) :
وَثِيَاباَكَ فَطَهِّرَْ
“Dan pakaianmu, bersihkanlah.”
Adapun suci badan, dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW kepada  orang yang bertanya tentang madzi, beliau bersabda:
تَوَضَّأْوَاغْسِلْ ذَكَرَ كَ
“Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu”
Rasulullah SAW bersabda kepada wanita yang istihadhah:
اِغسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلَّيْ
“ Cucilah darah yang keluar darimu, dan shalatlah”

Sedangkan sucinya tempat shalat, dasarnya adalah perintah nabi SAW untuk menuangkan satu ember air pada bekas air seni seseorang arab badui didalam masjid.
Dalil-dalil yang dipaparkan diatas menunjukkan wajibnya suci pakaian. Badan dan tempat sebelum shalat. Akan tetapi hal ini tidak diisyaratkan. Maksudnya, barang siapa yang shalat tapi ada najis yang menempel padanya dan ia mengetahui keberadaan najis tersebut, bahkan ia pun sanggup menghilangkannya, makai a berdosa, meskipun shalatnya sah.


Syarat wajib sholat
Syarat wajib sholat ada tiga:
Islam
Baligh
Berakal
Ketiga poin ini adalah Batasan dimana seorang disebut sebagai mukallaf. Artinya, jika ketiga poin ini terdapat pada seseorang, ia wajib sholat dan wajib menunaikan cabang-cabang syariat lain yang diperintahkan. Jika ketiga hal ini tidak terdapat pada seseorang, ia tidak dibebankan apa-apa.
Mengenai syarat islam, diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh bukhari (1331) dan muslim (19) dari ibnu abbas  bahwasanya rasulallah SAW mengutus muadz ke yaman, seraya bersabda:
ادعهمم الي شهادةانل لاالهالاالله وانيرسولالله فان هم اطاعوالذلك فاعلمهم انالله قدافترض عليهم خمس صلواتفي كل يومولي
“ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain allah dan aku adalah utuasan allah. Apabila mereka mengikuti ajakan itu, beritahulah mereka bahwa allah
SWT telah mewajibkan atas mereka lima waktu shalat dalam sehari semalam.




Rukun-rukun shalat yang disepakati

Rukun pertama: takbiratul ihram
Maksudnya seseorang yang hendak memulai shalat itu berdiri menghadap kiblat sambal mngucapkan takbir “allahu akbar”. Dalam kondisi lemah, seseorang diperbolehkan salat sambal duduk, namun bacaannya tetap memakai Bahasa arab, bukan Bahasa lain.
Konteks ini berlaku bagi seseorang yang salat sendirian, bukan sebagai imam, yaitu minimal dia mendengar takbirnya sendiri. Jika dia shalat menjadi imam, maka sunnahkan untuk mengeraskan takbirnya agar makmum dibelakangnya mendengar. Takbiratul ihram   itu termasuk rukun shalat bukan syarat. Karena itu, shalat hanya bias dilaksanakan hanya dengan mengucap takbir, namun jika tidak mampu mengucapkan takbir, maka gugurlah kewajiban mengucapkan takbir. Jika bisa mengucapkan takbir tapi hanya sebagian, maka dia boleh mengucapkannya dengan catatan yang diucapkannya itu ada artinya.
Takbir tidak sah dengan menggunakan kalimat semisal “Allaahumma ighfir liii”. Menurut pendapat yang lebih shahih, boleh menggunakan Bahasa arab bagi orang yang mampu mengucapkannya, tidak boleh mengantikan takbiratul ihram dengan Bahasa selain arab, kecuali memang tidak mampu, maka boleh menggunakan Bahasa persis. Menurut pendapat yang shahih, boleh hukumnya menggantikan takbiratul ihram dengan bajasa selain Bahasa selain arab, meskipun sebenarnya mampu menggunakan Bahasa arab, berbeda dengan dengan bacaan.
Mayoritas ulama fiqih mensyaratkan agar tidak betakbir sebelum imam selesai membaca takbir. Karena, ada hadits muttafaq ‘alaih yang berbunyi, “imam dipilih itu ntuk di ikuti. Kerena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian.” Akan tetapi, abu hanifah membolehkan makmum untuk membarengi imam, baik dalam takbiratul ihram, ruku’, dan Gerakan-gerakan shalat lainnya.
Rukun kedua: berdiri dala shalat fardhu bagi yang mampu
Orang yang sakit dan lemah tidak wajib berdiri dalam shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah karena beban taklif itu sesuai kemampuan. Jadi orang yang tidak mampu shalat sambal berdiri, maka boleh shalat sambal duduk.
Batasan berdiri dalam shalat, menurut madzhab Hanafi adalah jika seseorang meluruskan tangannya kebawah, maka tangan itu tidak sampai pada lutut. Sedangkan menurut maliki dan hambali, Batasan berdiri bukan dalam keadaan duduk, juga bukan dalam keadaan membungkuk seperti ruku’. Melainkan berdiri tegak. Kepala boleh ditundukkan kebawah tanpa mengurangi kesempurnaan berdiri.
Sedangkan menurut madzhab syafi’I, Batasan berdiri dalam shalat itu dengan meluruskan tulang punggung, karena berdiri berkaitan dengan tulang punggung. Dan tidak disyaratkan menegakkan leher karena sunnahnya menundukkan kepala. Jika berdiri sambil membungkuk atau miring ke kanan atau ke kiri, sehinggan tidak bias dinamakan berdiri, maka tidak sah karena meninggalkan suatu kewajiban tanpa udzur. Namun jika dekat dengan berdiri dan sah. Artinya, madzhab syafi’I juga sama dengan pendapat Maliki dan Hambali.
Rukun ketiga: membaca surah bagi yang mampu
Rukun, menurut madzhab Hanafi, yang juga fardhu amali dalam semua rakaat shalat sunnah termasuk witir, dan dalam dua rakaat shalat fardhu bagi imam dan orang shalat sendirian, adalah membaca ayat dari Al-Quran. Pandapat ini berdasarkan firman Allah SWT ya ng berbunyi,
....فَاقْرَءُوْامَاتَيَسَّرَمِنَ الْقُرْانِ....ََ
 “…karena itu bacalah apa yang mudah(bagimu) dari Al-Quran…” [al-Muzzamil: 20] perintah yang mutlak dalam ayat ini mengandung makna wajib karena rasulullah SAW.
Menurut madzhab Hanafi, batas minimal ayat yang wajib dibawa adalah ayat yang terdiri atas enam huruf, misalnya ayat “Tsummanazhar”[al-muddatstsir: 21]. Dua sahabat (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) berkata,”kadar minimal ayat yang wajib dibaca dalam shalat adalah tiga ayat pendek, atau satu ayat Panjang yang sebanding dengan tiga ayat pendek.”
Rukun keempat: ruku’
Ruku’ secara etimologi artinya membungkuk, sedangkan secara terminology artinya membungkukkan kepala dan puggung bersamaan dengan memegang kedua lutut. Sederhananya, ruku’ adalah membungkuk sambil memeganggi kedua lutut. Detailnya, ruku’ adalah meluruskan punggung dan leher (membungkukkan keduanya hinga lurus seperti papan yang lurus horisonta) mengikuti apa yang telah dituturkan oleh imam Muslim dalam shahih-nya. Yakni, dengan cara meluruskan antara kepala dan pantat, memegang kedua lutut dengan kedua tangan sambil merenggangkan jari-jari menghadap kiblat. Posisi kepala lurus, tidak diangkat keatas dan juga tidak terlalu menunduk menunduk. Kedua siku direnggankan ke samping bagi lelaki, dan dirangkap bagi perempuan. Untukorang yang bungkuk, boleh sedikit membungkuk lagi jika memang mampu.
Adapun dalil wajibnya ruku’ adalah firman Allah SWT yang berbunyi, 
يَآيُّهأالَّذِيْنَ اَمَنُوااَرْكَعُوْاوَاسْجُدُوْاوَاعْبُدُوْارَبَّكُمْ وَافْعَلُواالْخَيّرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُنََ       
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sembahlah tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” [Al-Hajj:77]


Rukun kelima: Bangkit dari Ruku’ dan I’Tidal
Abu hanifah dan Muhammad berkata, “Bangkit berdiri dari ruku’, I’tidal (berdiri tegak), dan duduk diantara dua sujud itu hukumnya wajib, bukan rukun karena itu termasuk dari bagian tuma’ninah (modifikasi rukun). Allah SWT berfirman yang artinya, “ruku’lah kamu, sujudlah kamu” [al-hajj:77] Ruku’ itu sudah bisa terlaksanakan hanya dengan membungkuk, dan yang diperintahkan hanya ruku’, sujud dan berdiri. Hanya itu yang fardhu. Adapun perintah rasulullah SAW, terhadap orang yang shalatnya jelek, “ kemudian bangkitlah hingga tegak berdiri,”ini menunjukkan hukum wajib karena hanya berdasarkan hadits ahad.
Rukun keenam: Dua kali sujud tiap rakaat
Sujud secara etimologi artinya khudu’ dan merendah, atau tawadhu dan tunduk. Sedangkan secara terminologi, secara singkat bisa dikatakan bahwa sujud itu adalah meletakkan sebagian dahi yang terbuka ketanah atau tempat shalat. Terminologi ini diambil dari  sebuah hadits yang artinya “jika engkau sujud, maka letakkanlah dahimu dan jangan terburu-buru.
Rukun ketujuh: Duduk diantara dua sujud
Duduk diantara dua sujud beserta tuma’ninah itu termasuk fardhu dalam shalat mayoritas ulama’. Sedangka menurut hanafiyyah hanya wajib, tidak sampai fardhu karena dalilnya hadits yang berbunyi, “kemudian bangkitlah dari sujud hingga tuma’ninah dalam duduk”
Ulama’ Syafi’iyyah menambahkan, “Bangun dari sujudnya itu harus dengan sengaja dan niat. Jika ia bangun tapi karena takut sesuatu, maka tidak termasuk bangun dari sujud. Tidak terlalu lama dalam duduk dan I’tidal karen keduanya adalah rukun yang bukan dzatnya, tetapi untuk memisahkan antara dua sujud.”
Rukun kedelapan: duduk terakhir selama tasyahud
Duduk ini termasuk fardhu dalam shalat menurut madzhab Hanafiyyah sampai pada bacaan,”Abduhu wa Rasuuluh” menurut pendapat yang shahih. Jika makmum selesai membaca tasyahud sebelum imam selesai, lantas ia makan atau bicara atau bicara, maka shalatnya sudah sempurna. Duduk terakhir dalam shalat, membaca tasyahud akhir, shalawat atas nabi SAW dan setelah itu duduk diam selama bacaan,” Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”
Rukun kesembilan: mengucakan salam
Salam yang pertama sebagai tanda keluar dari shalat ketika posisi duduk, hukumnya fardhu menurut  Malikiyyah dan syafi’iyah. Sedangkan menurut madzhab Hanabillah, kedua salam hukumnya fardhu kecuali dalam shalat Jenazah, shalat sunnah, sujud syukur, dan sujud tilawah. Karena itu, tanda selesai shalat menurut malikiyyah dan syafi’iyyah adalah setelah salam pertama, sedangkan menurut Hanabillah adalah ketika selesai salam kedua.
Rukun kesepuluh: Tuma’ninah dalam Gerakan-gerakan tertentu
Menurut pendapat jumhur ulama, tuma’ninah hanyalah wajib karena ada perintah dalam hadits tentang orang yang shalatnya jelek.
Tuma’ninah adalah diam di antara dua Gerakan sehingga memisahkan misalnya, sebatas memisahkan misalnya antara bangkit dan turun. Batas minimal tuma’ninah adalah sekedar diamnya anggota setelah gerak. Dalam ruku’ misalnya, sebatas memisahkan antara bangkit dan turun.
Rukun kesebelas: menerbitkan rukun-rukun sesuai dengan shalat yang dicontohkan oleh rasulullah SAW
Tertib dalam shalat menurut mayoritas ulama hukumya rukun. Wajib dalam hal bacaan dan sesuatu yang terulang dalam satu rakaat. Fardhu dalam sesuatu yang tidak terulang dalam satu rakaat, seperti tertibnya urutan berdiri sebelum ruku’ tertib urutan ruku’ sebelm sujud, menurut Hanafiyyah dengan mendahulukan niat dari pada takbiratul ihram, dan mendahulukan niat dari pada pada membaca surah al-Faatihah dari pada ruku’ sebelum bangkitnya, I’tidal sebelum sujud, dan sujud sebelum salam, dalam tasyahud akhir sebelum membaca shalawat atas Nabi SAW. Menurut syafi’iyyah dan Hanabilah.
Dalilnya adalah rasulullah SAW, shalatlah denga tertib. Juga, sebagai pelajaran yang beliau berikan kepada seorang lelaki yang shalatnya jelek. Selain itu, shalat adalah satu ibadah yang menurut mayoritas ulama selain hanafiyyah akan batal dengan berhadats. Karena itu, maka tertib dalam shalat termasuk rukun.

Komentar

Postingan Populer